- Back to Home »
- Kesenian Karinding »
- Sejarah Karinding
Posted by : Unknown
Kamis, 28 Februari 2013
KARINDING MENGHAJAR JALANAN!
Karinding adalah waditra karuhun Sunda, terbuat dari pelepah
kawung atau bambu berukuran 20 x 1 cm yang dibuat menjadi tiga bagian,
yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada (disebut cecet ucing), bagian untuk digenggam, dan bagian panenggeul (pemukul). Jika bagian panenggeul
dipukul, maka bagian jarum akan bergetar dan ketika dirapatkan ke
rongga mulut, maka akan menghasilkan bunyi yang khas. Bunyi tersebut
bisa diatur tergantung bentuk rongga mulut, kedalaman resonansi, tutup
buka kerongkongan, atau hembusan dan tarikan napas. Tiga bagian ini
merefleksikan juga nilai ,oral dan ajaran yang terkandung dalam
karinding, yaitu yakin, sadar, sabar. Dipegang yang yakin, ditabuh yang sabar, dan jika sudah ada suara harus sadar jika itu bukan suara kita.Secara kebahasaan, karinding berasal dari kata ka dan rinding. Ka berarti sumber dan rinding berarti suara.
Jenis bahan dan jenis disain karinding menunjukan perbedaan usia,
tempat, jenis kelamin pemakai. Karinding yang menyerupai susuk sanggul
dibuat untuk perempuan, sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung
dengan ukuran lebih pendek, agar bisa disimpan di tempat tembakau.
Bahan juga menunjukkan tempat pembuatan karinding. Di Priangan Timur,
misalnya, karinding menggunakan bahan bambu. Di kawasan lain di
Indonesia, karinding disebut juga rinding (Yogyakarta), genggong (Bali), dunga atau karindang (Kalimantan) atau alat sejenis dengan bahan baja bernama jawharp di kawasan Nepal dan Eropa dan chang di Cina dengan bahan kuningan. Selain ditabuh, karinding juga ada yang dimainkan dengan cara dicolek atau disintir.
Sepertinya karinding mulai muncul antara zaman pertanian dan zaman
perundagian. Alat music ini biasa dimainkan orang-orang sambil menunggui
sawah atau ladang di hutan atau di bukit-bukit, saling bersahutan
antara bukit yang satu dan bukit lainnya. Alat ini bukan cuma menjadi
pengusir sepi tapi juga berfungsi mengusir hama. Suara yang dihasilkan
oleh karinding ternyata menghasilkan gelombang low decibel yang menyakitkan hama sehingga mereka menjauhi ladang pertanian. Catatan tertua tentang karinding ada di naskah Pendakian Sri Ajnyana
yang diperkirakan ditulis abad ke-16. Dalam naskah itu dikisahkan
karinding disimpan di palang dada gedung keraton bidadari Puah Aci
Kuning di kahyangan. Berikut adalah cuplikan naskahnya,
Hurung subang di hulueun – Kacapi di kajuaran – Kari(n)ding dip
ago sanding – Giringsing di pagulingan – Deung ka(m)puh pamarungkutan
(Terjemahan : Giwang bercahaya di ujung kepala – Kecapi di dekat
tempat tidur – Karinding di pago sanding (palang dada) – Giringsing di
atas tempat tidur – Dan selimut)
Di kalangan rakyat umum, karinding adalah alat musik pertanian dan
alat ritual yang dimainkan dalam berbagai acara. Di kalangan para pemuda
Tatar Sunda, karinding populer sebagai alat musik pergaulan. Di Banten,
karinding dimainkan sebagai alat musik permainan anak-anak. Jejak
karinding yang lebih kentara justru datang dari Tasikmalaya. Kisah
Kalamanda dan Sekarwangi yang bersatu berkat karinding dan diyakini
sebagai cerita rakyat asal mula karinding dibuat di Cineam, atau kisah
si playboy Ki Slenting di Cineam yang berakhir tragis, memperkuat
karinding sebagai seni pergaulan. Cineam sebagai salah satu pusat seni
karinding diperkuat dengan keberadaan Sekar Komara Sunda pimpinan Bah
Oyon Naroharjo dan Bah Karna yang telah mengeksplorasi karinding sejak
tahun 1950an.
Pusat karinding lainnya tentu saja Parakan Muncang. Di sini,
karinding dimainkan dalam hajat-hajat hidup orang banyak, seperti hajat
lembur, hajar buruan, hajat ketika gerhana, hajat caang bulan, atau
sekedar permainan musik. Sosok sentral karinding Parakan Muncang masa
kini tentu saja adalah Bah Olot. Namun, ungkap Bah Olot, karinding sudah
ramai di parakan Muncang sejak zaman bapaknya Bah Entang, dan bahkan
kakeknya, Bah Maja. Keluarga Bah Olot memang sejak pembukaan Parakan
Muncang dikenal sebagai pengrajin alat-alat bambu dan karinding.
Agaknya, dari Parakan Muncang, kesenian ini terus berkembang ke Gunung
Manglayang dan Ujungberung dengan adanya kesaksian warga Gunung
Manglayang yang sudah berusia 80an tahun, yang menyebutkan jika
karinding dan celempung di Gunung Manglayang adalah sering dijadikan
musik pengiring latihan pencak silat semasa ia kanak-kanak.
Tahun 1990an, karinding mulai meruyak ke permukaan. Sejak
eksplorasinya oleh musisi-musisi Indonesia karinding terus dimainkan
bersama musik-musik yang lebih populer. Nama-nama besar dalam dunia
musik seperti Chrisye dan Harry Roesli pernah memasukan suara karinding
dalam lagu-lagu yang mereka mainkan. Karinding juga mulai banyak
diteliliti oleh para akademisi, termasuk endokumentasian karinding
Cineam antara tahun 1999 hingga 2001 oleh Kabumi UPI pimpinan Ginanjar
Saribanon, kolaborasi Sekar Komara Sunda dengan Kabumi tahun 2002,
hingga penciptaan karinding double neck karya Bah Oyon.
Karinding juga mengalami beberapa pengembangan yang signifikan dengan
diciptakannya karinding bernada diatonis oleh Asep Nata. Upaya
pengenalan karinding kepada khalayak luas juga terus dilakukan oleh
Dodong Kodir, Yoyo, dan Opa Felix.
Pertengahan 2000an, perkembangan karinding terutama dikawal oleh Abah
Olot dari Parakan Muncang. karindng di kawasan ini semakin menemukan
bentuknya ketika berdiri kelompok musik Giri Kerenceng tahun 2005
pimpinan Bah Olot. Di beberapa titik di Kota Bandung, seni karinding
semakin menghangat saja. Dua di antara titik yang patut ditandai adalah
karinding di komunitas Maman Dago dan Komunitas Hong. Pada masa ini,
melalui murid Abah Olot, Mang Engkus dan Mang Utun, karinding mulai
dikenal dan dimainkan di komunitas musik metal Ujungberung Rebels.
Tahun 2008 musik karinding seperti mendapatkan momen kebangkitannya.
Disertai dengan bangkitnya kesadaran lokal di hampir seluruh dunia,
karinding tampil menjadi nilai kesadaran lokal baru di generasi muda
Sunda, terutama di kalangan musisi bawahtanah. Salah satu lokomotif
utama kebangkitan karinding tentu saja adalah Karinding Attack, kelompok
musik yang digawangi para pionir komunitas metal Ujungberung Rebels.
Dengan slogan dan manifestasi Sunda Underground Sunda Kiwari Nyanding
Bihari, karinding dikembangkan dengan sangat progresif oleh Karinding
Attack dan pada gilirannya menginspirasi kelompok-kelompok lainnya untuk
bersama-sama bangkit. Karinding pun menyebar di kawasan Sumedang,
Garut, Cicalengka, Rancaekek, Ujungberung, Bandung, Lembang, Ciwidey,
Subang, Cimahi, Batujajar, Cililin, Cianjur, Sukabumi, Bogor, Tangerang,
Bekasi, dan Karawang. Kini dalam berbagai pergelaran music metal di
seluruh Indonesia sudah tak asing lagi para pemuda metal di Sumatera,
Jawa, Kalimantan, atau Sulawesi yang tampak mengenakan iket Sunda dan
membawa-bawa kariniding.
Dua komitmen tak kalah penting yang dilakukan Karinding Attack adalah
digelarnya program pengajaran karinding Kelas Karinding atau Kekar dan
penulisan buku sejarah karinding. Kekar digarap oleh Hendra Attack di
Common Room dan Gedung Indonesia Menggugat, dan kini menyebar semakin
luas di berbagai seklah dan komunitas karinding. Sementara itu buku
sejarah karinding yang diterbitkan berjudul Jurnal Karat Ujungberung Rebels,
karya Kimung. Terbit tanggal 20 Oktober 2011, bisa dikatakan buku ini
adalah kisah sejarah karinding pertama yang pernah diterbitkan. Jurnal Karat
adalah jurnal harian Kimung dan segala yang ia lakukan bersama
Karinding Attack dalam rangka membangkitkan kembali seni karinding.
Untuk buku sejarah karinding yang lebih umum, Kimung juga sedang menulis
buku Sejarah Karinding Priangan yang akan diterbitkan segera.
Pembangunan basis perekonomian yang bervisi kesejahteraan para
pengrajin bambu juga adalah wacana yang sering digulirkan di Karinding
Attack, terutama oleh Okid Gugat. Okid yang mengelola distro Remains
Rottrevore serta label musik metal Rottrevore Records ini senantiasa
mengungkapkan bahwa maraknya percaloan di kalangan para pengrajin
setidaknya adalah hal yang menyebabkan kerajinan bambu di mayoritas
kawasan Jawa Barat cenderung mati suri. “Bayangkan, karinding dari
pengrajin paling dibeli dengan harga sekitar sepuluh sampai tiga puluh
ribu, para calo kemudian menjualnya dari harga lima puluh ribu sampai
seratus ribu. Sebetulnya itu sih hak para calo atau distributor mau jual
seratus ribu atau bahkan sampai dua juta juga. Masalahnya setelah
mereka mendapatkan keuntungan, masihkah mereka ingat pada nasib para
pengrajin?” Karenanya yang ia lakukan adalah merancang berbagai upaya
kesejahteraan pengrajin sekaligus membangun kebanggaan dalam diri
pengrajin dan memutus jalur percaloan dengan menghubungkan para
pengrajin langsung dengan dunia luar. Dalam atmosfer kehidupan yang
terjamin, ketersediaan karinding atau waditra-waditra lain di pasaran akan senantiasa siap sedia.
Karinding juga menjadi ranah penelitian yang eksotis bagi beberapa
kaum muda di ranah komunitas independen Bandung. yang berhasil dicatat
oleh Minor Books dan Bandung Oral History, setidaknya sudah ada beberapa
anak muda yang secara intens meneliti karinding. Dua di antaranya
adalah Dian AQ Maulana seorang mahasiswa sejarah Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), juga tergabung dalam kelompok belajar sejarah lisan
Bandung Oral History (BOH), yang kini sedang menyusun skripsi bertema
karinding di Bandung dan sekitarnya dan Iyang juga dari BOH yang meriset
penulisan biografi Abah Olot dan Giri Kerenceng. Karinding juga menjadi
sarana eksplorasi kelompok atau komunitas mahasiswa seperti yang
dilakukan komunitas film United Record Pictures atau Under berbasis di
kampus Universitas Komputer Indonesia (Unikom) yang digawangi Kapten
Jeks dan Fajar Alamsyah, juga kelompok mahasiswa jurnalistik Fikom
Universitas Padjadjaran dengan radio dan televisi kampusnya. Tanggal 22
Juni 2010, United dengan sutradara Kapeten Jeks merampungkan syuting
video klip “Hampura Ma II” Karinding Attack. Ini bisa jadi adalah video
klip musik karinding pertama yang pernah dibuat di dunia.
Ini tentu adalah modal besar dalam membangun tatanan sosial dan
budaya yang lebih sadar akan identitas dirinya sendiri di percaturan
budaya global sehingga karakter dan metalitas individu yang terbangun
semakin kuat dan membumi demi terbangunan tata sosial yang lebih baik,
aktual, inklusif, serta integratif.
Penulis adalah pemain karinding.
sumber : karindingattack.com
Posting Komentar